Setiap minggu, ia duduk di meja yang sama, jam yang sama dan memesan minuman yang sama, Iced Lemon Tea. Matanya selalu menerawang jauh keluar jendela, seperti sedang
menunggu seseorang. Ia baru pulang ketika café akan tutup, itupun tanpa menyentuh minumannya sedikit pun walaupun ia tetap membayarnya. Aku merasa, ada rasa sedih dan iba setiap kali melihatnya memandang kosong ke jalanan seperti itu. Akankah ia tersenyum suatu saat nanti…?
***
Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju café tempatku bekerja sambil menudungi kepalaku dari rintik gerimis dengan tas. Namun, langkahku sedikit tertahan ketika melihat ada seseorang yang duduk di bangku taman yang sengaja ditempatkan di luar café. Mengapa orang itu tidak masuk ke dalam?
“Sedang menunggu orang?” sapaku ramah ketika mendekatinya. Dia sedikit terkejut dari lamunannya dan tersenyum ringan.
“Ya,” jawabnya singkat sambil tetap tersenyum. Tapi, kenapa senyumnya itu terasa sangat sedih?
“Kenapa tidak menunggu di dalam?” tanyaku seramah mungkin.
Dia terdiam sesaat, “Tempat saya yang biasanya sedang diduduki orang lain”
“Bagaimana dengan meja yang lain? Kalau anda berminat, akan saya siapkan.”
“Tidak, terima kasih. Saya akan menunggu di sini saja,” tolaknya halus.
Aku pun terdiam, tidak tahu harus berkata apa-apa lagi ketika melihat senyum lemah yang terukir kembali di wajahnya. Benar-benar membuatku penasaran sekaligus iba. Seorang cowok yang termasuk tampan namun bermata hampa tanpa semangat.
“Kalau begitu, saya masuk dulu. Kalau meja yang biasanya anda tempati kosong, akan saya beritahu.”
“Baiklah, terima kasih banyak.”
Aku pun kemudian bergegas masuk ke café dan berganti seragam. Banyak pertanyaan berkelebat di kepalaku. Aku harus berusaha keras untuk menyingkirkannya supaya bisa fokus pada pekerjaanku.
“Hei, Margie. Tadi kamu ngobrol apa aja sama ‘tuh cowok?” selidik Delvien tiba-tiba ketika aku sedang menyiapkan pesanan pelanggan.
“Cuma tanya kenapa dia nggak masuk ke dalam. Katanya sih, karena meja tempat dia biasanya duduk lagi ditempatin,” jawabku singkat sambil meletakkan sepiring roti bakar keju dan secangkir the hangat di nampanku.
“Cuma itu?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Nggak, hanya penasaran aja. Soalnya ‘tuh cowok tiap minggu datang ke sini seperti lagi nunggu seseorang yang nggak pernah datang. Padahal cakep gitu,” jawab Delvien dengan tampang serius. Aku hanya terdiam mendengarnya. Memang benar dia terkenal karena kebiasaanya yang ‘agak unik’ itu. Aku sendiri pun penasaran setiap kali melihat dirinya memandang kosong keluar jendela seperti itu. Kira-kira siapa yang ditunggunya, ya? Apa mungkin pacarnya?
Aku terkesiap ketika sadar memikirkan hal yang tak pantas di saat kerja. “Sudah, ah. Gosip mulu. Nanti bisa dimarahin Mbak Novi klo ketahuan ngobrol pas kerja, nih” sergahku panik sambil membawa pesanan ke meja pelanggan. Delvien hanya bisa merengut dan kembali mengerjakan tugasnya sebagai kasir.
Ketika kulihat meja nomor dua dari belakang yang tepat berada di samping jendela telah kosong, aku pun teringat dengan janjiku pada cowok itu. Segera kubersihkan meja tersebut dengan perasaan yang agak sedikit campur aduk.
Meja pun sudah siap, kulirik keadaan di luar ruangan lewat jendela. Di luar sudah mulai cerah walaupun malam telah tiba. Aku pun bermaksud memberitahukan pada pelanggan ‘istimewa’ kami bahwa meja yang diinginkannya sudah siap. Ketika kulihat bangku taman yang ada di depan café telah kosong, entah kenapa rasanya hatiku mencelos. Ada rasa sesal, kenapa aku tidak lebih cepat menyiapkan meja itu?
Jam kerjaku pun akhirnya berakhir. Dengan langkah tak bersemangat, aku pun berjalan pulang. Kusempatkan diriku untuk mampir di taman kecil dekat café untuk melegakan pikiranku. Belum berapa jauh aku masuk ke taman, aku melihatnya sedang duduk di ayunan. Dengan sedikit ragu-ragu, aku mendekatinya.
“Maaf, tadi saya terlambat memberitahu meja langganan anda sudah siap.”
Diapun tersadar dari lamunannya. “Tidak apa-apa. Saya rasa ada baiknya sesekali saya duduk di luar seperti ini,” jawabnya ramah sambil berayun-ayun sedikit.
Kami pun terdiam, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Aku pun duduk di ayunan sebelahnya yang kosong.
“Baru mau pulang?” tanyanya memecah kesunyian.
“Ya, rumah saya dekat dari sini. Jadi, kadang-kadang saya mampir ke sini kalau suntuk,” jawabku sambil tertawa kecil.
“Oh, begitu. Saya dulu juga sering ke sini ketika hari cerah. Tapi sudah cukup lama juga saya tidak main ke sini lagi, baru hari ini.”
“Memang kenapa?”tanyaku spontan, “Aduh, maaf tiba-tiba bertanya seenaknya” wajahku memerah. Bisa-bisanya aku langsung bertanya seperti itu pada orang asing! Kalau Mama tahu, aku pasti bisa diceramahi panjang lebar tentang tata karma. Aku pun tertunduk salah tingkah. Dia hanya tersenyum maklum.
“Dulu, saya sering ke sini bersama teman masa kecil saya sejak kelas 1 SMP. Kami biasa duduk-duduk di ayunan seperti ini, mengobrol, bercanda…” matanya kembali menerawang jauh. Aku hanya diam memperhatikan.
“Suatu hari, saya mengajaknya bertemu di café tempatmu bekerja. Saya berencana untuk merayakan ulang tahunnya sambil memintanya menjadi pacar saya.”
“Tapi, di hari yang saya nanti-nantikan tersebut, dia tak kunjung datang. Saya menunggu dan terus menunggu. Saya sudah mencoba menelpon HP-nya, tapi tak tersambung. Keesokannya, saya pergi ke rumahnya, namun rumah tersebut kosong…” ucapannya terhenti. Terlihat matanya yang begitu sedih namun berusaha tegar.
“…saya terus menunggunya, berharap mungkin dia akan datang ke café memenuhi janji kami…walaupun kau tahu bagaimana akhirnya…” seulas senyuman pahit terukir di wajahnya. Hatiku pun menjadi trenyuh.
“Dan…hari ini…saya…menerima surat undangan pernikahannya…yang akan diadakan dua minggu lagi…”
Hatiku mencelos, terasa sakit. Aku bisa merasakan kepedihannya, rasa sakit dan sedihnya, begitu terasa…sampai-sampai rasanya aku pun ingin menangis. Menangis karena dirinya, tapi juga karena…aku?
“Sekarang, saya sedang bingung…apakah saya harus menghadiri acara itu dan mengucapkan selamat…atau saya harus belajar untuk melupakannya…?” terdengar nada putus asa dari kalimatnya yang terakhir. Dia pun tertunduk pilu. Sosoknya yang putus asa di temaram lampu taman membuat hatiku sakit. Kesunyian ini membuat hatiku semakin sakit, aku ingin berkata sesuatu untuk menguatkannya, tapi mulutku serasa terkunci.
Kutatap bintang yang mulai bermunculan di balik awan. Sepoi angin malam mempermainkan rambutku. Kurasa, sebenarnya sejak awal melihatnya aku mulai tertarik padanya. Rasa cinta yang diselimuti kesedihan yang terpancar dari matanya membuatku ingin mengenalnya dan membuatnya tersenyum. Bahkan, setelah mendengar ceritanya, sepertinya aku makin terjerat olehnya. Apakah aku …telah… jatuh cinta?
“Saya rasa…anda harus jujur pada diri sendiri…apakah yang sebenarnya paling anda inginkan bagi dirinya dan bagi diri anda? Mungkin jawabannya bukanlah akhir yang membahagiakan…tapi…setidaknya dengan satu keputusan, hal itu akan menentukan sebuah awal dari sesuatu yang baru…” kataku perlahan namun pasti.
Dia hanya terdiam tertunduk. Entah apa yang dipikirkannya tentangku. Seseorang yang baru mengajaknya bicara hari ini dan bahkan lebih muda beberapa tahun darinya, memberikan suatu nasehat. Tapi, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku tulus memikirkannya.
Waktu terus berjalan. Kami tetap asyik dengan keheningan malam dengan pikiran kami masing-masing. Hari esok yang seperti apakah yang akan kami lalui?
***
Sebulan telah berlalu sejak malam itu. Dia tak pernah muncul lagi di café dan tentunya mengundang banyak tanya dari teman-temanku…kecuali aku. Aku hanya diam tak memberitahukan kejadian saat itu pada siapapun. Meskipun ada rasa sesal dan sedih di hati, aku hanya bisa berharap yang terbaik untuknya. Terkadang aku merasa kesal sendiri, kenapa aku bisa-bisanya mengungkapkan pendapatku seperti itu? Pada seseorang yang tak dikenal pula!
Aku hanya bisa mendesah nafas berat setiap kali terkenang saat itu. Haahh…semoga dia baik-baik saja…
Sore itu, aku kembali mengerjakan keseharian pekerjaan sebagai pelayan meja. Sempat aku heran dengan keriuhan yang tak biasa dari antara teman-temanku ketika aku selesai berganti seragam, namun aku tak begitu memperhatikannya.
“Margie, antarkan pesanan meja nomor 22!” perintah Mbak Novi.
“Ah, baik!” jawabku cepat lalu mengambil nampan berisi Iced Lemon Tea. Sejenak, aku termenung ketika melihat pesanan itu. Terkenang dirinya yang selalu memandang keluar jendela dengan tatapan hampa dan selalu memesan Iced Lemon Tea seperti yang kupegang ini.
“Margie, jangan melamun, ah! Ditunggu, tuh pesanannya,” tegur Mbak Novi
“Ah, iya! Maaf!” aku tersentak malu.
Dengan tergesa-gesa namun tetap berhari-hati, kuantarkan pesanan ke meja yang sengaja disiapkan di luar café untuk pelanggan yang menyukai menyantap pesanannya di di udara luar.
Di tempat tersebut, kulihat seseorang yang duduk memunggungiku, menatap pemandang hijau di kejauhan. Aku sedikit terkejut ketika melihat punggung yang lumayan begitu kukenal itu. Kok bisa?!
“Permisi, ini Iced Lemon Tea pesanannya.”
Si pemesan pun berbalik. Orang itu! Tapi kali ini matanya tidak lagi hampa, aku bisa melihat semangat hidup dari kedua matanya. Seulas senyum cerah nan tulus pun kini nampak di wajahnya, bukan lagi senyum sedih yang dipaksakan.
“Ah…lama tak bertemu,” kataku sedikit tergagap. Aku pun tersentak teringat kejadian malam itu, “Ah, maaf untuk yang waktu itu. Saya hanya bermaksud…”
“Tidak apa-apa. Saya mengerti, kok,” potongnya sambil tertawa kecil.
Rasanya hari ini sangat cerah begitu melihat tawa kecilnya yang terlihat begitu lepas!
“Ngomong-ngomong, kamu nanti tugas sampai jam berapa?” tanyanya
“Saya tugas sampai jam 9 malam. Memang kenapa?” Aku merutuk dalam hati atas kepolosanku yang konyol dengan pertanyaanku yang terakhir.
“Nanti malam…saya harap kita bisa bertemu lagi di taman yang waktu itu. Bagaimana?” tanyanya sopan tak terpengaruh dengan kekonyolanku.
“Baiklah. Nanti saya akan datang.” Hatiku begitu berdebar-debar dan penasaran.
Sepanjang sisa waktu kerjaku hari itu, aku tak bisa tidak berhenti memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi nanti. Begitu penasarannya, hampir-hampir aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku dan sempat ditegur Mbak Novi karena salah mengantarkan pesanan sampai dua kali.
Akhirnya waktu tutup café pun tiba. Dengan tergesa-gesa aku menuju taman tempat kami janji bertemu. Sesampainya di pintu masuk taman, dengan gugup, kurapikan rambutku yang sedikit acak-acakan karena berlari. Kupastikan bajuku dalam keadaan rapi. Walaupun hanya mengenakan T-shirt berwarna oranye terang yang kubeli di pasar murah bulan lalu dan celana blue jeans yang termasuk sering kupakai untuk bepergian sehari-hari, setidaknya aku tidak ingin terlihat kucel.
Setelah menarik nafas 2-3 kali, aku menyiapkan hati memasuki taman menuju ayunan yang berada di tengah-tengah area. Malam ini seperti malam itu, suasana sedikit temaran diterangi lampu taman yang ada di sudut-sudut taman. Hanya saja, malam ini bulan purnama bersinar cerah, bahkan langit pun hanya diselingi sedikit awan. Semoga ini pertanda bagus!
“Maaf lama,”sapaku begitu mendekatinya yang sedang duduk di ayunan seperti waktu itu.
“Tidak apa-apa. Ayo, duduk dulu.” Kedatanganku disambut dengan senyumnya.Dengan gugup, aku duduk seperti yang dipintanya.
“A…ada apa, ya kalau boleh saya tahu?” tanyaku setelah kurasa cukup lama kami terdiam.
“Saya…ingin mengucapkan terima kasih…” jawabnya sambil tetap menatap bulan yang bulat penuh.
“Ah? Terima kasih untuk apa?” tanyaku bingung. Dia terdiam sesaat, tetap memandangi Sang Mutiara Malam. Aku pun terdiam memandanginya wajahnya yang tanpa beban, tersenyum ringan.
“Saya…memikirkan nasehatmu sejak malam itu. Semula saya tidak tahu saya harus berbuat apa. Jauh di dalam hati saya, saya masih mencintainya. Berharap apa yang terjadi itu hanya ilusi. Selama berhari-hari sebelum hari pernikahan, saya mengunjungi tempat-tempat kenangan kami yang lain.”
“Suatu hari saya tersadar akan satu hal. Saya memang mencintainya, dan walau apa pun yang terjadi, dia tetap adalah orang yang pernah menduduki tempat istimewa dalam hati saya. Lalu, saya berpikir, bagaimana halnya dengan dia? Apakah dia juga mencintai saya, setidaknya pernah mencintai saya?”
Terdengar suara tarikan nafasnya untuk melanjutkan ceritanya. Aku pun diam memperhatikan walaupun hatiku sebenarnya terasa sakit.
“Saya pun mendatangi rumahnya yang baru. Suatu langkah yang sempat tidak saya berani ambil karena takut. Saya bertemu dengannya dan berbicara dengannya seperti biasa. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk menyatakan perasaan saya. Semula dia sedikit kaget, tapi akhirnya saya mengetahui bahwa dia mengganggap saya selama ini tak lebih dari seorang sahabat bahkan seperti saudaranya sendiri. Orang yang akan dinikahinya tunangannya sekaligus cinta masa kecilnya yang baru pulang studi di luar negeri.”
“Hati saya sempat sakit dan sedih. Ternyata, gadis yang saya cintai telah mempunyai orang lain di hatinya dan perasaannya berbalas. Saya hanya bisa pasrah dan mendoakan yang terbaik baginya. Setelah cukup lama berpikir, saya pun bisa menghadiri pernikahannya…sebagai sahabat terbaiknya…”
Pembicaraan kami sempat terhenti sejenak. Aku tetap diam menyimak dan mencerna ceritanya. Angin malam berhembus menggoyangkan dahan-dahan pohon flamboyan, seakan mencoba memecah kesunyian
“ Butuh 2 minggu untuk menata kembali hati saya. Di saat malam, ketika senggang, saya merenung memandangi langit seperti sekarang ini. Walau terdengar klise atau semacamnya, saya harap saya akan bisa tetap mendoakan yang terbaik baginya, bagi dirinya yang pernah mengisi hidup saya. Dan…,” tatapan beralih kepadaku yang serius menyimak kata-katanya, “saya bersyukur bertemu denganmu. Saya merasa dikuatkan untuk jujur pada diri sendiri dengan menghadapi kenyataan sehingga saya bisa mengambil tindakan yang seharusnya saya ambil dari awal.”
Wajahku terasa panas terbakar. “Ah…ti..tidak, itu bukan karena saya. Anda terlalu berlebihan” jawabku tertunduk malu berusaha merendah.
Dia tertawa melihat sikapku yang salah tingkah. Aku hanya bisa tambah tertunduk malu. Jangan sampai dia tahu kalau aku sebenarnya jatuh cinta padanya, bahkan sekarang lebih lagi! Tidak saat ini!
“Yang pasti, bila waktu itu kamu tidak menyapa saya, saya rasa saya tetap tidak tahu harus berbuat apa dan tetap terpuruk. Sekarang saat ini saya mantap ingin menjalani awal yang baru.”
Aku tersenyum senang. Ada rasa lega melihat wajahnya yang kini bersinar dan matanya yang kini penuh harapan di bawah sinar bulan.
“Karena itu, saya harap untuk support-nya untuk selanjutnya, ya. Siapa tahu, suatu hari nanti saya benar-benar jatuh cinta padamu” candanya sambil mengedip.
“Eh…ehhh?!!!A..apa…maksudnya?!” tanyaku gelagapan, hampir jatuh dari ayunan. Wajahku terasa panas membara dan jantungku berdebar tidak karuan.
“Hahahaha…dari reaksimu pun saya bisa tahu apa yang kamu pikirkan tentang saya. Saya rasa orang polos sepertimu manis juga, Margaretha.”
“Ehhh…darimana anda tahu nama saya?” tanyaku makin gelagapan.
“Tentu saja bertanya, dan ngomong-ngomong, namaku Anggarda,”senyumnya manis.
Ahhhh…Sang Pangeran yang dulu selalu bersedih, kini tengah tersenyum manis padaku!!! Bahkan dia menggodaku?! Aduh…bagaimana hatiku nantinya…?!! Bulan di atas sana terlihat begitu berkilau indah, menyinari riak-riak hatiku…
0 komentar
Label: Tips